PERMASALAHAN PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka
bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam
kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan
pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah
imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi
latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Pada
makalah ini, akan dikaji hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan
formal yang diselenggarakan di Indonesia. Pada dasarnya setiap kegiatan
yang dilakukan akan menimbulkan dua macam dampak yang saling
bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan dari
pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai
’Tujuan’. Sedangkan dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan
merupakan harapan dalam pelaksanaan kegitan tersebut, sehingga dapat
disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan.
Jika
peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan
pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah
dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut
sebagai permasalahan Pendidikan. Istilah permasalahan pendidikan
diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala
sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata
permasalahan berarti sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang
dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah segala-sesuatu hal
yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
A. Masalah Umum Pendidikan di Indonesia
Permasalahan
Pendidikan Indonesia adalah segala macam bentuk masalah yang dihadapi
oleh program-program pendidikan di negara Indonesia. Seperti yang
diketahui dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1993 dijelaskan bahwa program
utama pengembangan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
b. Peningkatan mutu pendidikan
c. Peningkatan relevansi pendidikan
d. Peningkatan Efisiensi dan efektifitas pendidikan
e. Pengembangan kebudayaan
f. Pembinaan generasi muda
Adapun masalah yang dipandang sangat rumit dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut.
a. Pemerataan
b. Mutu dan Relevansi
c. Efisiensi dan efektivitas
Setiap
masalah yang dihadapi disebabkan oleh faktor-faktor pendukungnya adapun
faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya 4 masalah di atas adalah
sebagai berikut.
a. Ilmu Pengeahuan dan Teknologi (IPTEK)
b. Laju Pertumbuhan penduduk
c. Kelemahan
guru/dosen (tenaga pengajar) dalam menangani tugas yang dihadapinya,
dan ketidakfokusan peserta didik dalam menjalani proses pendidikan
(Permasalahan Pembelajaran).
B. Pemerataan Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia
Permasalahan
pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah
terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara
pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan pendidikan
juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk
melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol
pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau
daearh-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas
penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam
pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Permasalahan
pemerataan pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas
dan sarana belajar bagi setiap lapisan masyarakat yang wajib mendapatkan
pendidikan. Pemberian sarana dan prasrana pendidikan yang dilakukan
pemerintah sebaiknya dikerjakan setransparan mungkin, sehingga tidak ada
oknum yang dapat mempermainkan program yang dijalankan ini.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah pelaksanaan
program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat
memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa
disebut perluasan keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam
pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan
memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial, agama, amupun letak lokasi geografis.
Dalam
propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai
kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia
Indonesia berkualitas tinggi dengan peninggakatan anggaran pendidikan
secara berarti“. Dan pada salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan
Indonesia adalah untuk pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan, maka hal ini berjalan seiring dengan
kegiatan pembelajaran dalam pendidikan. Pelaksanaan kegiatan belajar
adalah sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dalam
kegiatan belajar formal ada dua subjek yang berinteraksi, Yaitu
pengajar/pendidik (guru/dosen) dan peserta didik ( murid/siswa, dan
mahasiswa).
Pada
saat sekarang ini, kegiatan pembelajaran yang dilakukan cenderung
pasif, dimana seorang pendidik selalu menempatkan dirinya sebagai orang
yang serba tahu. Hal ini akan menimbulkan kejengahan terhadap peserta
didik. Sehingga pembelajaran yang dilakukan menjadi tidak menarik dan
cenderung membosankan. Kegiatan belajar yang terpusat seperti ini
merupakan masalah yang serius dalam dunia pendidikan.
Guru
yang berpandangan kuno selalu menganggap bahwa tugasnya hanyalah
menyampaikan materi, sedangakan tugas siswa/mahasiswa adalah mengerti
dengan apa yang disampaikannya. Bila peserta didik tidak mengerti, maka
itu adalah urusan mereka. Tindakan seperti ini merupakan suatu paradigma
kuno yang tidak perlu dipertahankan.
Dalam
hal penilaian, Pendidik menempatkan dirinya sebagai penguasa nilai.
Pendidik bisa saja menjatuhkan, menaikan, mengurangi dan mempermainkan
nilai perolehan murni seorang peserta didik. Pada satu kasus di
pendidikan tinggi, dimana seorang dosen dapat saja memberikan nilai yang
diinginkannya kepada mahasiswa tertentu, tanpa mengindahkan kemampuan
atau skill yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut. Proses penilaian
seperti sungguh sangat tidak relevan.
Semakin
tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain,
harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya
masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek
pendidikan kita. Sebagai siswa dan sekaligus sebagai calon pendidik,
kami merasakan ketimpangan-ketimpangan pendidikan, seperti :
1. Kurikulum
Kurikulum
kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada
hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Perubahan kurikulum yang
terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda
hanya bukunya.
Pemerintah
sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di Indonesia
yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal
ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan
elemen-elemen dasar dalam pendidikan.
2. Biaya
Akhir-akhir
ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami kenaikan BBM.
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih
parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen
pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal.
Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan
kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan
lepas tangan.
3. Tujuan pendidikan
Katanya
pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu
menyesatkan. Bagaiamana tidak? Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya
diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah
yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari
masyarakat ataupun pejabat-pejabat). Bukankah ini memalukan?? Berarti
kalau kita punya uang maka kita tidak usah sekolah tapi
sama dengan yang sekolah karena memiliki ijasah. Harusnya pendidikan itu
menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki
analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu
permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.
4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR
RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan
(BHP) menjadi Undang-Undang. Selama tiga tahun itupula, UU yang berisi
14 bab dan 69 pasal banyak mengalami perubahan. Namun, disahkannya UU
BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan
terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan.
Hal
yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya
pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. UU BHP juga menetapkan perguruan tinggi negeri
atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar 20 persen dari seluruh
jumlah mahasiswa di lembaganya. Namun, jika ternyata Perguruan Tinggi
yang terkait tidak mempunyai dana yang mencukupi, untuk memberikan
beasiswa, akhirnya dana tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa lagi.
UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan
dalam jangka panjang. UU BHP sendiri saat ini sedang dalam proses
mencari input. Jadi, untuk memperkuat status hukum PT BHMN, ia akan
diatur dalam UU BHP.
5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Perdebatan
mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan
tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada
awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian
Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat
penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam
ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni
pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap
(afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu
kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu
kelulusan. Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal
35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Ketiga, aspek sosial
dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah
telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi
4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan
kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa
dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah
ataupun di rumah.
Keempat,
aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun
2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum
ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan
pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya,
sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya.
Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan
finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup
dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
6. Kerusakan fasilitas sekolah
Kerusakan
bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah
tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah
dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia,
dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
Kerusakan
bangunan pendidikan jelas akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena
secara psikologis seorang anak akan merasa tidak nyaman belajar pada
kondisi ruanagan yang hamper roboh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar